Janganlah takut dan menjadi pesimis, setelah melakukan kesalahan, wahai Anakku.
Namun takutlah ketika kita tak melakukan apa-apa setelah kesalahan yang kita lakukan...
By : Juwati Soetomo
Namun takutlah ketika kita tak melakukan apa-apa setelah kesalahan yang kita lakukan...
By : Juwati Soetomo
Pagi itu menyenangkan sekali bagi Si Anak Elang. Murgul
namanya. Karena ini adalah untuk kali pertama ia keluar dari sarang sendirian dan
bebas bermain tanpa pengawasan Sang Bunda. Ia sudah berangan akan terbang setinggi
mungkin, ingin berkeliling dunia, lalu akan ia ceritakan apa yang dilihatnya
kepada bunda yang amat ia sayangi selama ini.
“Kamu sudah besar, Murgul sudah bisa terbang sendiri.
Bunda yakin kamu bisa.” Pesan Sang Bunda sebelum Si Anak Elang keluar dari
sarang.
Akan tetapi, baru saja ia hendak terbang, dilihatnya
anak-anak elang sebaya dengannya sedang bergerombol di puncak pohon tak jauh
dari sarang tempat tinggalnya, sepertinya membicarakan sesuatu serius.
“Kawanan tikus tengah menyerbu di area sawah petani di
lereng gunung.” Bisik seekor anak elang bernama Zar-Zar kepadanya.
“Kasihan para petani itu, pasti panen tahun ini bakal
gagal lagi.” Kata yang bernama Ableh.
“Ada
apa ini, kenapa dengan panen?” Sela Murgul penasaran sambil mendekat.
Lalu Zar-Zar yang berbadan paling tambun menceritakan,
tentang kawanan tikus yang memporak-porandakan sawah para petani yang sebentar
lagi akan di panen. Kalau sampai kawanan tikus merajalela, kelaparan bakal
melanda.
“Apakah kita bisa membantu mereka?” Tanya Murgul, akan
tetapi semua hanya menunduk diam.
Kemudian Murgul tiba-tiba mengepakkan sayapnya sambil
melompat kegirangan. Rupanya ia telah mendapatkan ide.
Dengan bersemangat ia berteriak, “Ayo kita kumpulkan
kawan-kawan elang semua, lalu kita satu tim menyerbu tikus-tikus yang
merajalela di sawah-sawah itu. Pasti kawanan tikus itu akan panik mendapat
serbuan mendadak dari kita.” Jelasnya dengan wajah semangat.
“Berarti kita akan menyerbu serentak?” Tanya Amoorlin,
anak elang yang paling cantik.
“Benar sekali!” kata Murgul yang kemudian diikuti
ungkapan setuju dari yang lainnya.
“Ide yang bagus, setuju!” Teriak Zar-Zar yang diamini
lainnya.
Lalu tak beberapa lama kemudian, beberapa anak elang
lainnya berdatangan dan membentuk satu tim besar. Mereka sangat antusias untuk
ikut dalam penyerbuan tikus. Sepertinya sangat menyenangkan, pikir anak-anak
elang itu. Berburu bersama-sama maka ini akan mirip dengan peperangan dan
menjadi pahlawan. Tak lupa mereka menunjuk sebagai komandan. Karena Murgul yang
memiliki ide, maka semua sepakat menjadikannya komandan dalam aksi peyerbuan
ini.
***
Tidak makan waktu lama, ketika anak elang itu langsung
terbang serentak menuju ladang-ladang para petani yang hampir panen, namun
gangguan tikus memporak-porandakan sehingga gagal panen mengancam semua petani.
Tanpa banyak cing-cong,
anak-anak elang itu terbang sesekali menukik ke area sawah dengan suara
lengkingan khas, sementara tikus-tikus yang mendapat serangan mendadak
kelabakan, pontang-panting mencari tempat persembuyian.
Sesekali dari cengkeraman kaki anak elang yang
mendapatkan mangsa tikus langsung terbang ke puncak bukit tempat pos mereka.
Hingga hari beranjak petang barulah kawanan anak elang
berhenti, lalu berkumpul di pos. Mereka begitu bangga dan bersorak-sorak
kemenangan karena ratusan ekor tikus dapat mereka tangkap.
“Hidup Murgul!” teriak Zar-Zar dan lainnya saling
bersahutan, membuat Murgul tersipu-sipu.
“Pak Tani pasti akan berterimakasih banyak atas jasa kita
pada hari ini.” Kata Amoorlin yang diamini lainnya.
*****
Murgul baru di ambang pintu dan ingin bercerita tentang
kisah pengalamannya hari ini ketika melihat Sang Bunda sudah menantinya, duduk
dengan berwajah mendung.
“Hari ini Murgul…,”
Belum sempat Murgul selesai berkata, sang ibu telah
mendahuluinya, “Demi Allah anakku, apa yang telah kamu lakukan hari ini?”
“Murgul membantu para petani membasmi tikus, Bu.”
“Kamu tahu apa akibat yang telah kamu lakukan? Kamu hanya
membuat kesedihan di hati para petani. Mereka telah gagal panen karena tikus
dan kini tak mendapatkan hasil apa-apa karena kelakuanmu itu. Lihatlah sawah
petani kini porak poranda karena ulahmu dan kawan-kawanmu yang menerjang sawah
para petani untuk memburu tikus.”
“Murgul hanya…,”
“Cukup!” Tegas ibunya.
Murgul
hanya merenung, barulah ia menyadari apa yang dilakukannya yang menurutnya baik
ternyata petaka bagi semuanya. Murgul tak pernah berpikir sejauh itu. Murgul
menyesali perbuatannya.
Maka
malam itu ia berjanji tidak akan belajar terbang lagi. Ia ingin menjadi bebek
saja seperti kawannya Bug-Bug, seekor bebek yang kerap ia lihat bermain di
kolam. Dulu ia sering berbangga dihadapan Bug-Bug karena menjadi anak elang
bisa terbang tinggi, bisa melihat banyak hal dari atas langit yang biru.
Sementara Bug-Bug setiap harinya hanya tahu kolam lalu kembali ke kandang.
“Jangan berputus asa Murgul,” kata Bug-Bug ketika melihat
Murgul hanya tertunduk lesu di pinggir kolam.
“Tidak! Aku berjanji tidak akan terbang lagi. Aku ingin
menjadi sepertimu saja! Menjadi seekor bebek, biar tak membuat onar dan membuat
marah Bunda lagi.” Ungkap Murgul putus asa, lalu berlalu dengan langkah
terseok-seok. Kini, semua ibu-ibu bangsa eang telah melarang anak-anaknya untuk
bermain dengan dirinya, membuat hati Murgul kian putus asa.
****
Baru saja ia di ambang sarang rumahnya. Tiba-tiba ia dikejutkan
oleh suara hingar-bingar dari dalam. Murgul kian ketakutan tatkala suara
namanya di dengung-dengungkan.
Ia nyaris terbang ketakutan, ketika ia mendengar suara
Ibundanya memanggil namanya.
“Maafkan Murgul. Murgul berjanji tidak akan mengulangi
lagi.” Murgul berkata sambil tertunduk ketakutan dihadapan semuanya.
Mendengar kesedihan anaknya, Sang Bunda segera memeluk
dan mengusap kepalanya seraya berbisik lembut, “Tidak ada yang perlu dimaafkan,
Bunda yang telah salah menilaimu, Murgul. Para
petani itu justeru merasa terbantu sehingga tikus-tikus ketakutan dan tak akan
berani mengganggu lagi. Sehingga panen selanjutnya tak akan ada tikus lagi yang
berani mengganggu. Mereka berterimakasih padamu.”
“Benarkah?” Binar mata Murgul kembali merekah seraya
melirik teman-temannya yang mengangguk mengamini. Dalam hati ia berjanji tak
ingin menjadi bebek atau siapa-siapa lagi. Ia bangga menjadi Murgul si anak
elang, bangga menjadi anak Bunda. (Pernah di muat di majalah Iqro)
0 comments