KARYA TULIS

WAJAH BERGAMBAR

January 30, 2013

Kejujuran itu memang mahal dan terkadang menyakitkan

Namun kebohongan jauh lebih menyakitkan dan kesia-siaan pada akhirnya
(Be My Self)
             
By. Ahla Jennan 

            Kumala tertegun di ambang pintu, tatapannya nanap pada bahu bidang yang berdiri didepan gas stove [1], memunggunginya, tengah asyik mengaduk-aduk sesuatu di dalam panci. Bunyi bel pintu, hilir mudik langkah kaki, suara racau dan riuh rendah  di segenap penjuru ruangan tak juga membuat perhatiannya pecah ataupun barang sejenak menoleh. Ia begitu tenggelam dalam dunianya. Sesuatu di dalam saku celananya tiba-tiba begitu berat membebani langkahnya…
                                                                  *****
            “Kenapa tak pakai warna merah darah ini, La?”
            Kumala berhenti memperhatikan cermin didepannya lalu menoleh dengan kesal pada sosok yang sedari tadi asyik menontonnya, “Aku tak sedang haus darah, Mbak Ayu!”
            “Tapi yang merah ini lebih merekah.”
            Dasar selera  kampungan!
            “Dengar, Mbak Ayu, ini bukan masalah seberapa tebal dan merahnya pewarna bibir untuk menggoda pria. Tapi ini tentang seni, Mbak! Seni melukis wajah. Hanya pria-pria tertentu saja yang bisa menilai penampilan perempuan dari riasannya. Orang seperti sampean ini masih terlalu lugu untuk mengetahui seni menggambar wajah.”
            Kumala melirik kembali wajah sederhana  dengan kerudung berjuntai menutup dada disampingnya itu, yang nampak tak acuh dengan sindiran halus yang baru saja ia lontarkan. Sebenarnya dengan pakaian seperti itu ia tetap saja terlihat cantik, tapi entah kenapa nampak rendahan sekali seleranya. Tanpa modifikasi.
            “Mendekatlah kesini, Mbak Ayu. Biar kupoles wajahmu. Dengan sedikit sapuan kuasku ini, jaminan mutu Kang Mariyun di kampung sana bakal pangling, mengira sampean[2] ini seorang Bintang Dangdut.”
            “Aku hendak kamu poles? Sudahlah, tanpa dipolespun Kang Mariyun tidak bakal pindah ke lain hati. Cinta kami bukan dari riasan wajah, Kumala, tapi cinta kami tumbuh di sini.” Jawab sahabatnya itu dengan tangannya mengepal ke dada.
            “Oya, kamu sedang ada janji dengan Mark, Si Tom Cruise dari Jerman itu, ya?” lanjutnya.
            Kumala mencibir, “Dia sudah tamat.” Jawabnya sambil mengumbar tawa lebarnya.
            “ Lalu, Si Shahruk Khan dari Pakistan itu?”
            “The End dari sebulan yang lalu.”
            “ A Hong?”
            “Kandas. Dia terlalu egois, Mbak Ayu. Aku mana tahan…,”
            “Kamu jatuh cinta semudah orang terkena sakit flu saja.”
            Kumala kembali terkekeh, memamerkan lesung pipit di pipi kirinya yang membuat gurat senyum di wajahnya semakin manis saja, “Tapi sekarang sudah ada yang lain lagi.” Katanya di barengi dengan kerling nakalnya.
            “Selanjutnya siapa lagi yang mau jadi tumbalmu? Apa kamu tidak lelah mempermainkan hati pria?”
            “Tapi yang ini lain. Orangnya so care, romantis, cool abis, tapi yang terpenting adalah masa depan. The Future[3], Mbak Ayu…,”
            “Kamu juga selalu bilang begitu ketika jatuh cinta sama Si Mark dan A Hong,”
            “Tapi kali ini aku tak main-main. Orangnya benar-benar simpatik, kharismatik, dan kaya lagi. Pokoknya Si Mark, A hong, Shahruk Khan, Kumar Sanu, pasti kalah telak.”
            “Kamu juga berkata seperti itu ketika jatuh cinta sama Si A Hong maupun Si Kumar Sanu,”
            “Tapi yang ini memang lain. Baru kali pertama ini Kumala benar-benar jatuh hati tak biasa seperti ini. Baru sekali ini.”
            “Kamu tahu darimana ia baik dan kaya, jangan-jangan kamu kena tipu, La. Hati-hati,”
            “Don’t worry,[4] Mbak Ayu. Dari jaringan Facebook, Friendster miliknya kuketahui ia seorang warga negara Indonesia yang baik, bekerja di sebuah perusahaan perbankan Hongkong sini, seorang Sarjana Ekonomi, ayahnya pengusaha di era sembilanpuluhan, tapi usahanya bangkrut di gulung krisis moneter.”
            “Apa kamu pantas berpasangan dengannya? Apakah dia menaruh hati padamu?”
            Kumala di landa resah, kembali mencermati wajah kawan sepenanggungannya semenjak empat tahun silam. Kawan semenjak kali pertama ia mendaratkan diri di negeri Hongkong ini. Walaupun ditengah jalan akhirnya jalan yang ditempuh saling berseberangan. Kumala yang selalu berusaha tampil mempesona dan berharap selalu di urutan pertama dalam persoalan mode dan tata busana, sementara Mbak Ayu yang senantiasa sederhana, selalu tak acuh dengan tampilannya. Empat tahun bekerja di Hongkong dengan segala kebebasannya ternyata tak mampu mengerosi otaknya untuk merubah diri.
            “Gampang saja, cukup mengaku lagi kerja di sebuah kantor perusahaan milik sahabat Pamanku.”
            “Kamu sudah gila, Kumala! Tak baik memulai hubungan dengan kebohongan.”
            Namun Kumala buru-buru berlari ke ambang pintu WC yang lumayan sepi di hari minggu ini, sesaat kemudian ia telah menjelma menjadi sosok baru dengan tampilan modis sedikit menjiplak ala pegawai kantoran. Kacamata berbingkai persegi sengaja disematkan untuk menambah keyakinan intelektualnya.
            “Nyebut, La. Nanti kamu kena batunya,”
            Kumala kembali tergelak menatap gurat kekhawatiran pada raut sahabat lugunya itu.
            “Dengar, Mbak. Tanyakan pada mereka yang telah sukses di dunia bisnis, berapa kali mereka telah jatuh bangun, ketipu, lalu bangun lagi sebelum akhirnya berhasil?”
            “Tapi ini bukan dalam bidang usaha, tapi ini masalah hati, La. Perasaan! Bukan hal yang aneh untuk lelaki mau mempermainkan seribu wanita, ia tak akan terluka ataupun ternoda. Tapi kau perempuan, La. Sekali saja ternoda, duniamu merana selamanya___selamanya, La.
            “Nah, Mbak Ayu malah berputar haluan ke arah berlawanan. Rasaku pada yang seorang ini lain, Mbak. Ada cinta berselimut bisnis. Menarik, kan? Rencananya, kami akan patungan membuka usaha, Ayahnya seorang berjiwa bisnis, apa salahnya aku berinvestasi kecil-kecilan untuk tabungan masa depan.”
            “Tapi, kalau___,”
            “Ah, sudahlah. Aku ada janji hari ini dengannya. Ia tidak setiap minggu bisa di jumpai. Terlalu sibuk, maklum anak kantoran,” potong Kumala sembari melirik waktu di pergelangan tangannya, “Dah dulu, Mbak Ayu. Nitip dulu barang-barangnya, ya…,”
            “Kumala!”
            Tapi yang di panggil telah melesat seperti di kejar hantu.
                                                                      ****
            Dengan bantuan pencahayaan lampu halogen, atap plafon yang dekorasinya bernuansa akustik, ditambah gradasi warna hitam yang mengepung ruangan, membuat suasana dalam café terlihat tenang dan romantis. Kumala berdecak-decak kagum ketika kali pertama menjejakkan kaki di ambang pintunya, menatap interior di segala penjuru ruangan yang terkesan bukan murahan itu.
            “Seleranya lumayan tinggi juga dalam memilih tempat kencan,” gumam Kumala dalam hati sembari ekor matanya berkeliaran.
            Sosok itu berada di meja yang terletak di sudut ruangan, tatapannya tengah terpaku pada catalog menu yang tengah dibolak-baliknya. Mungkin bosan menunggu.
            “Hai Mas Ferry, sorry banget bikin nunggu.”
            Yang disapa langsung mendongak dan menebarkan senyum kalemnya, membuat Kumala langsung terkesima, dalam hatinya ia menyumpahi betapa tampan cowok yang  baru dikenalnya tiga minggu lalu ini.  
            “Hanya limabelas menit.”
            “Iam so sorry, biasalah kalau akhir bulan pasti banyak pekerjaan, so semalaman harus begadang di depan komputer.”
            “Aku mengerti, kok.”
            Senyum kalem itu kembali terukir disudut bibir. Membuat hati Kumala serasa melambung berjuta rasa.
            “Bagaimana dengan rencana kita tempo hari? Kapan bisa di mulai?” Lanjut Kumala sembari menggeser kursi dan duduk di hadapan lelaki itu.
            “Lebih cepat lebih baik. Percayalah, bisnis kita ini pasti akan mendapat respon dari masyarakat luas. Apalagi basic kita adalah perbankan yang pastinya tak akan banyak kesulitan dalam memanajemen keuangan dan pemasarannya. Aku juga telah banyak menimba ilmu dari negeri Komunis Cina yang saat ini menjadi kiblat dunia usaha internasional. Untuk mengawali usaha ini, modal sebesar limapuluh ribu dollar Hongkong telah aku kirim pada ayah sebagai pengendali bisnis.”
            Kumala terbelalak.
            Limapuluh ribu? Uang sebanyak itu, ia tak mengira modalnya akan sebesar itu.
            “Limapuluhribu itu hanya modal awal saja, limabulan kedepan aku akan mengirim lagi untuk melebarkan sayap usaha ini. Bagaiamana pendapatmu?”
            Kumala menelan ludah. Ingatannya mulai mengorek-korek buku tabungan yang di milikinya.
            “Berapa yang harus aku bayar sebagai modal awal? Dan, berapa persen keuntunganku?” Tanya Kumala sedikit bimbang.
            Pria di hadapannya itu sejenak mengelus-elus dagu, “Seperti yang telah saya bicarakan dengan Ayah, untuk usaha ini kita perlu minimal  duaratus juta rupiah. Ayah telah menginvestasikan sisa kekayaannya sebesar tujuhpuluh lima juta rupiah untuk mewujudkan usaha ini. Dan, jika kamu berinvestasi sebesar tujuhpuluh lima ribu dollar Hongkong, kamu akan mendapatkan 20 % saham dari usaha ini.”
            “Tujuhpuluh lima ribu?” Suaranya nyaris tercekat di tenggorokan ketika mengucapkannya.
            “Yah, begitulah. Modal adalah salah satu faktor utama dalam memulai sebuah usaha, selain ketrampilan dan kenekatan tentu saja. Tapi, percayalah, ayah saya telah malang melintang di dunia usaha puluhan tahun. Mungkin krisis sempat memporak-porandakan usaha bisnisnya. Tapi ia sanggup berdiri lagi, walaupun tak sampai semegah dahulu,”
            Kumala mengamati wajah dihadapannya yang penuh semangat dan keyakinan itu. Hatinya ikut hanyut terbawa arus namun juga bimbang pada kondisinya. Bagaimana cara mendapatkan uang sebesar itu? Bahkan dalam tabungannya yang setengah mati ia kumpulkan selama tiga tahun terakhir ini tak juga mencukupi. Tapi ia juga merasa gengsi untuk menolaknya. Apa kata dia nanti?
            “Akan saya pikirkan dahulu.” jawab Kumala lirih sambil menelan ludah.
            “Tentu. Saya tak ingin memberatimu, juga tak ingin memaksa. Tapi ini merupakan peluang yang besar untuk masadepan. Masa depan kita tentunya.” Ujarnya sembari mengenggam telapak tangan Kumala. Yang membuat hatinya langsung luluh dan tak berdaya, sementara otaknya mencari seribu cara untuk mendapatkan pinjaman dana.
                                                            ****
            Kumala tengah menghitung keseluruhan tabungan sekaligus uang pinjaman yang baru ia dapatkan dari sebuah bank, dan juga beberapa temannya, termasuk Mbak Ayu, sahabat kentalnya walaupun untuk itu ia harus menerima seribu rentetan kebawelannya yang kerap tak mendukung  tiap kali ia punya rencana. Tapi rencana bulat dan masa depan telah bertengger di kepala Kumala, tak satupun yang sanggup meruntuhkan atau sengaja menggagalkan. Titik.
            Dia telah mantap berencana hari ini akan mentransfer sejumlah uang ke rekening Ferry, kekasihnya itu sebagai invest untuk usaha yang didirikan Ayahnya. Dering pesawat telepon dari ruang tamu sejenak memaksanya berdiri dan melangkah dengan malas. Dan, lebih malas lagi ketika mengetahui siapa yang menelepon.
            “Sial!” Gerutu Kumal sembari meletakkan gagang telepon, ketika yang menyapa adalah majikan perempuannya. Yang mengatakan agar dirinya segera bersiap karena akan dijemput untuk acara makan malam dirumah saudara sepupunya, di lain kota.
            “Disana nanti ada Aman, perawat Kakek yang pandai memasak kare, cap cay. pork chop, dan banyak lagi lainnya. Kamu harus banyak belajar dan bertanya dari dia.”
            Kumala mencibir demi mendengarnya. Sudah bukan hal yang aneh bila majikannya tak pernah puas dengan hasil karya masakannya. Namun, yang kerap membuatnya jengah adalah selalu menyebut nama Aman ketika ada masakan yang dibuatnya tak beres di lidah. Aman, perawat kakek yang pandai memasak dan sering menjadi bahan perbandingan majikan perempuannya antara kualitas Kumala sebagai pembantu wanita dan sosok Aman sebagai perawat orang jompo. Dan, Kumala sungguh tak rela.
            Buru-buru ia meletakan gagang telepon, memasukkan buku tabungannya ke dalam saku, dan ganti meraih handphone untuk mengetik sebuah SMS, permohonan maaf pada kekasihnya karena tak bisa mentransfer uang hari ini. Ada rapat mendadak dengan  atasan, begitulah alasan jitunya.
            Rona wajahnya masih sedikit manyun ketika tiba dirumah saudara majikan perempuannya. Walaupun sudah hampir empat tahun bekerja di rumah majikannya, namun baru hari ini ia di ajak bertandang. Bukan hal yang mengherankan bila sepanjang jalan, majikannya sibuk mengarahkan apa saja yang harus dikerjakannya selama bertamu nanti. Dan, Aman tak lupa disebutkannya dalam daftar menu utama, yang membuat Kumala semakin gusar dan penasaran pada sosoknya.
            Kumala hanya sanggup melongo dengan nafas tercekat, ketika sejenak ujung penglihatannya mengoreksi sosok itu. Perawat itu masih muda, dengan bahu bidangnya  yang khas dan amat ia kenali, dan pernah ia kagumi. Tiba-tiba saja seluruh engsel persendiannya serasa melemas, sekuat tenaga ia memutar haluan, tak siap menghadapi sosok itu. Dengan langkah berat oleh beban amplop disaku celananya, kakinya berayun untuk menjauh dari kotak dapur. Mencoba meredam rasa yang tiba-tiba bergejolak dalam benaknya tanpa tahu apa yang harus ia lakukan. Semuanya terlihat gamblang, telah ada di ujung mata, namun tetap saja Kumala tak percaya.
            “Kumala, tolong panggilkan Aman, kakek yang menginginkannya.” Sebuah teriakan menguik di antara keributan di kamar  yang mana anak-anak gadis berada didalamnya.
            Tak ada pilihan. Dengan langkah berat, Kumala menuju ambang pintu dapur. Tempat asa dan harapannya telah menguap seketika.
            Dengan nafas tersendat dan bibirnya yang bergetar menahan tangis, Kumala berkata untuk kali pertama dan sekaligus akan mengakhirinya.
             “Mas Ferry, pispot Kakek sudah penuh, tuh.
            Yang Kumala ingat sosok itu segera menoleh dan terkejut menatap dirinya. Tapi, Kumala tak sempat membalas atau sekedar memandang, karena tatapannya mulai mengabur dan airmata terlanjur tumpah membanjiri pipinya.
                                                      ****
            “Kusut sekali kau pagi ini, tanpa tenaga seperti bayi kurang asupan gizi. Kemana wajah bergambar dan gaya trendy-mu itu?” Tanya Mbak Ayu, raut wajahnya penuh tanda tanya, karena Kumala bertingkah amat tak biasa.
            “ Kau benar, Mbak Ayu. Wajah bergambarku ternyata hanya menjadi tambahan catatan dosa saja, semuanya hampir saja tak tersisa, tapi ternyata Allah masih mengingatkan, sebelum aku benar-benar jatuh tersungkur didalamnya.”
            “Kenapa, Kumala. Adakah yang membuatmu terluka?”
            Kumala mulai mewek, seraya bertanya, “Apakah, Mbak Ayu pernah di bohongi oleh laki-laki?”
            Mbak Ayu nampak berpikir sejenak, “Ada apa sebenarnya, ceritakanlah?”
            Ganti Kumala yang menggeleng lemah, “Mas Ferry, Mbak. Ternyata…,”
            “Kenapa dengan Ferry?”
            Ia kembali menggeleng, enggan membuka mulut pada sahabatnya. Tapi, tiba-tiba pipinya kembali bersemburat rona bahagia. Senyum merekah di sudut bibirnya, seraya berkata, “Aku akan mengikuti jalanmu saja, Mbak Ayu!”
            “Maksudmu?”
            “Aku akan mencoba hidup seperti, Mbak Ayu saja. Walau terlihat norak dan kampungan tapi bahagia.” Cetusnya seraya menyambar tas di pergelangan tangan sahabatnya.
            “Ehh, Kumala mau kau bawa kemana mukena baruku itu??”
            Yang ditanya telah kembali melesat seperti dikejar hantu.
                                                                 **End**
ilustrasi : Net
Pernah diterbitkan di majalah Normuslima
                                                                                                Hongkong, 01/06/2010



[1] . kompor gas
[2]  . kamu
[3] . masa depan
[4] . Jangan khawatir

You Might Also Like

0 comments

Translate

SUBSCRIBE

Like us on Facebook