FIKSI

JEJAK CINTA ASMARADANA

March 06, 2020

( Winner Voice Of Indonesia - Radio Republik Indonesia 2019 )
   
Oleh : Juwati Soetomo ( Ahla Jennan )



Foto by website 
Nafasku terengah-engah, tatapanku menyapu sekeliling, panik dan bingung menjadi satu.
"Sinsang, emkoy”* apakah melihat Bobo berkacamata dan membawa tongkat lewat sini?" Tanyaku pada satpam penjaga yang selalu berkeliling di sekitar taman di bawah apartemen. Dia sudah hafal denganku, karena hampir setiap pagi dan sore aku selalu mengantar dan menemani Bobo berjalan-jalan di taman ini. Untuk berolahraga atau sekedar duduk-duduk santai dengan para manula lainnya. 
"Tadi aku lihat menuju kesana!" telunjuknya mengarah ke anak tangga menuju jalan raya, yang membuat panikku semakin menjadi. 
Aku langsung berlari hingga lupa mengucapkan terimakasih kepadanya.

Meskipun ini bukan kali pertama Bobo, nama panggilan wanita tua berusia 75 tahun yang aku rawat selama hampir setahun ini pergi tanpa pamit. Tetap saja rasa kalut mengahantuiku.Takut jika terjadi sesuatu, karena dia adalah tanggung jawab pekerjaanku sebagai seorang migrant worker dengan pekerjaan sebagai perawat jompo.
Penyakit alzheimer telah menggerus semua ingatan Bobo yang kurawat. Tak satupun yang ia kenali dan dia ingat tentang masa lalunya, kecuali nama anak semata wayangnya "A Man" dan kota kelahirannya di China "Hangzhou". Jika dia sedang kambuh, maka dia mendadak gelisah, panik, susah mengendalikan diri, dan suka berhalusinasi. Hal yang paling ditakutkan adalah seperti sekarang, ketika tiba-tiba meninggalkan rumah tanpa pamit. Disaat aku sedang membersihkan kamar mandi. Jalannya memang masih sehat meski harus dibantu dengan tongkat. 
"Uhhhh, kenapa tadi aku sampai lupa mengunci pintu," Rutukku pada diriku sendiri, sembari mencari-cari wajah Bobo di sepanjang jalanan yang lalu lalang di jam makan siang. 
Nafasku mereda, ketika kulihat sosok tua berkacamata tengah berdiri di seberang jalan dengan tongkat kayu sebagai penopang jalannya, ia sedang berdiri di halte bus. Gelagatnya nampak bingung dan cemas, berdiri namun tidak ikut dalam antrian. Tangan kirinya menggamit ujung jaket rajut yang dikenakannya, pandangannya tidak fokus, dan wajahnya diliputi kepanikan. Putus asa.
"Bobo a ..," Kuteriak dan berlari mendekati dirinya.
"Mari kita pulang," Tanganku berusaha menggamit lengannya.
Namun dia langsung menepis tanganku dan menghardik, "Siapa kamu?
Ngo em sik lei. Chau a!"*
"Saya Ati yang menjagamu." Kataku menyebut nama pemberian Nyonya Chow, karena kesulitan memanggil namaku “Kinanthi”.
"Aku menunggu A Man, sebentar lagi dia pulang kerja!"
"Emm, bagaimana kalau kita jemput dia ?" Kucoba merayu sekenanya.
Dia kembali menatapku penuh selidik, dan sedetik kemudian membuang muka. 
Dia sudah beranjak ingin pergi, antara putus asa dan mencari cara, refleks bibirku membuka, menyenandungkan bait-bait Tembang Asmaradana, membiarkan orang yang berlalu-lalang dan antri kendaraan menatap aneh dengan ulahku. Beberapa orang nampak tertegun dan berhenti, mencoba mengenali lantunan senandungku yang mungkin terasa aneh di pendengaran mereka.
Poma-poma wekas mami , Anak putu aja lena 
Aja katungkul uripe, Lan aja duwe karêman 
Marang pepaes dunya, Siyang dalu dipun emut
Yèn urip manggih antaka*
Nampak wajah Bobo mulai mengendur, kepalanya mulai mengikuti irama
tembang yang kusenandungkan.
Lawan aja angkuh bengis, Lengus lanas langar lancang  
Calak ladak sumalonong, Aja edak aja ngepak 
Lan aja siya-siya,  Aja jail parapadu
Lan aja parawadulan*
"Nah,Bobo sudah ingat aku sekarang?" 
Dia membeku, menatapkku ganjil, namun kulepas nafas lega, dan segera meraih tangannya yang dingin oleh udara sejuk di bulan Maret, lalu membantu memapahnya. 
Setelah Hangzhou dan A Man, ajaib sekali Tembang Asmaradana mampu merasuki jiwanya yang kosong tanpa memory. Dia mengingat tembang ini.
"Kita pulang kerumah, ya?" Bisikku lirih ditelinganya.
"Ke Hangzhou?" Dia kembali bertanya dengan suara agak ragu.
"Hayya,"*
"A Man sudah pulang?"
"Hayya, dia menunggu dirumah."
"Baiklah," 


****


Suara televisi yang memekakkan telinga berbaur suara gaduh di apartemen atas yang sedang diperbaiki tak membuat Bobo terganggu. Jika dia berada dirumah dipastikan televisi selalu menyala, entah dia sedang menonton atau tidak. Biasanya aku mematikan setelah Bobo tertidur. Dia takut kesepian, jikalaupun terbangun tengah malam, dia akan bergegas ke ruang tengah dan membangunkanku untuk minta dinyalakan televisi. Dia juga suka mendengar ketika aku bekerja sembari menyanyi Tembang Jawa. Mungkin dengan adanya kegaduhan, atau suara-suara ramai membuatnya merasa tak sendiri.

Sementara Bobo menonton, diriku sedang melipat kertas-kertas hingga membentuk seperti origami menyerupai emas batangan sebagai persiapan untuk sembahyang di bulan April nanti. Nyonya Chow telah mengirimkan kemarin, dia adalah kerabat sekaligus penanggung jawab Bobo setelah wafatnya Tuan A Man, anak semata wayang Bobo tiga tahun silam karena kecelakaan kerja. Dia tinggal di lain distrik bersama suami dan anaknya. Hanya sekali waktu datang jika ada hal penting atau di awal bulan untuk mengantarkan gajiku. Jika aku libur, maka sementara Bobo akan dititipkan di panti jompo dan aku akan menjemputnya setelah pulang dari libur. Karena Bobo tinggal sendirian di sebuah apartemen kecil, di daerah Tsuen Wan. 

Sungguh sangat menyedihkan nasibnya, selain suami dan anak semata wayangnya telah mendahului, memori ingatan tak ia miliki. Hidupnya ibarat kertas kosong tanpa coretan. Alzheimer bak virus ganas yang menyerang dan menggerogoti kedalaman komputer, menyebabkan kerusakan, dokumen hilang, dan harus instal ulang.

"Kuhangatkan sup ikan kesukaanmu," kataku sembari mendekatkan semangkuk sup, dan beberapa butir obat untuknya dimeja.
"Aku sudah makan," jawabnya.
"Tadi sarapan, sekarang makan siang." jawabku membujuknya.
Aku dan Bobo ibarat dua manusia yang sama. Telah kehilangan sosok berharga dalam hidup. Inilah yang menguatkan dan membuatku bertahan untuk merawatnya.
"Kamu tidak bernyanyi?" 
Aku tersipu, "Kamu minum sup, aku menyanyi, bagaimana?" 
Dia mengangguk, lalu kusenandungkan lagi tembang kesukaannya "Asmaradana", merupakan salah satu jenis Tembang Jawa kuno anak dari Tembang Macapat, dengan bait-bait syairnya lebih berisikan nasehat cinta kasih kepada sesama, kepada Tuhan, juga kepada alam. Sayang sekali tembang-tembang ini sudah jarang diajarkan dan nyaris punah dikalangan anak muda sekarang.

Bagiku, setiap kali aku melantunkan tembang ini, tanpa sadar bulir airmataku menetes, dadaku penuh sesak dengan kerinduan yang membuncah dan berdarah pada sosok Simbah. Nenek  sekaligus penggganti orangtuaku. Aktivitas hari-harinya tak lepas dari Tembang Jawa, ketika memasak, menyapu halaman, bahkan ketika siang ia beristirahat di nyalakannya radio kesayangan untuk mendengarkan alunan Tembang Jawa. Ketika aku masih kecil, dia selalu menidurkanku bukan dengan dongeng ala Cinderella, namun dongeng pewayangan, legenda kerajaan, hingga nasehat kehidupan lewat tembang-tembang.

Suara Simbah ketika melantunkan Tembang Jawa memang sangat indah dan merdu sekali, lengkingan cengkok suaranya dalam memainkan melodi sangat halus dan enak jika didengar. Semasa mudanya dia sangat tersohor sebagai seorang Sinden* . Dan, anak-cucu Simbah sepakat bahwa aku adalah pewaris jejaknya yang memiliki bakat seperti dia. Mereka memberiku julukan "Kinanthi, Sinden Singkek" yang artinya Penyayi Jawa dari Etnis Tionghoa*. Karena wajahku yang bulat, mata sipit, dengan lesung pipit di dua pipi menyiratkan garis keturunan Tionghoa, sementara kulit sawo matang membuatku tak bisa mengelak bahwa darah pribumi mengalir pada tubuhku.

Aku memang besar dan dirawat oleh Simbah, dia adalah satu-satunya sosok yang aku kenal. Bahkan wajah Ibu hanya tahu dari foto satu-satunya yang terpajang di dinding ruang tamu, dia sedang menggendong diriku. Kata Simbah saat itu aku berumur satu tahun. 

Aku juga tak pernah melihat wajah Ayah bahkan, sehelai foto tidak aku miliki. Namun, dari cerita Simbah Ayah bukanlah seorang pribumi, namun dari peranakan Tionghoa. Ayah adalah seorang pengusaha di Jakarta, sementara Ibu hanyalah seorang karyawan di perusahaannya. Mereka menikah, lahirlah aku dengan nama "Kinanthi" dan nama Tionghoa "A Sing", dengan panggilan "Sing Sing" yang berarti bintang. Namun, kebahagiaan rumah tangga orangtuaku terenggut oleh sebuah tragedi besar di bulan Mei 1998 yang membuatku sebatangkara.

Kata Bibi Mar, saksi kejadian saat itu Ayah tengah keluar kota, dan Ibu hamil muda sedang berada di rumah bersamaku yang saat itu berusia 2,5 tahun ketika peristiwa itu terjadi. Bibi saat itu ingin menjemput Ibu, karena khawatir dengan keadaan Jakarta yang memanas oleh gerakan massa yang banyak melakukan aksi kerusuhan, kerusakan dan pembantaian khususnya pada etnis Tionghoa. Saat itu perusahaan banyak yang bangkrut, pengurangan tenaga kerja, karena krisis keuangan atau moneter. Prasangka Bibi Mar menjadi nyata ketika massa berhasil menjebol pintu gerbang dan mengepung kediaman orangtuaku. Nasib Ibu sangat mengenaskan sebelum tewas, ia diperkosa dan dibakar bersama rumah seisinya, sementara aku selamat karena diselamatkan Bibi yang membawaku lari lewat pintu belakang. Lalu membawaku pulang ke kampung di pelosok Jogyakarta, tepatnya di Gunung Kidul tinggal bersama Simbah.
Hong Kong, hasratku membuncah untuk mencoba berpetualang di negeri itu. Menjadi seorang tenaga kerja wanita, karena setelah kepergian Simbah yang meninggalkan sejuta duka. Aku tak memiliki siapa-siapa lagi. Satu-persatu mereka yang kucintai pergi. Satu-satunya harapanku adalah mencari jejak Ayah. Karena dari berita yang kutelusuri,  banyak etnis Tionghoa korban kerusuhan Mei 1998 yang mengungsi ke Hong Kong. Semoga Ayahku salah satunya. 


                                                                 ****

foto by Juwati Soetomo
5 April 2018,  hari ini adalah Ching Ming Festival, sesuai kepercayaan masyarakat China tradisional, Ching Ming identik dengan upacara memperingati keluarga dan leluhur yang sudah meninggal dengan melakukan ziarah kubur, membersihkan makam, mengantar sesajen dan berdoa. Hari ini warga Hong Kong tumpah ruah di pemakaman. 

Ini pertama kalinya aku pergi ke pemakaman, Nyonya Chow telah membantu segala persiapan dari uang kertas yang akan di bakar, makanan dan buah sesajen, juga dupa, serta mengingatkan agar membawa kursi roda sebagai persiapan jika Bobo kelelahan di perjalanan, karena lokasi pemakaman berada di perbukitan dan harus berjalan lumayan agak panjang dan menanjak. 

Dengan menggunakan kendaraan taxi umum, kami bertiga berangkat menuju ke pemakaman yang berada di Diamond Hill. Nyonya Chow mengatakan selain berkirim doa ke makam Tuan A Man, juga ke makam suami Bobo yang sudah meninggal lama. 
Kutatap deretan makam yang mengular, bersap-sap di lereng perbukitan yang hari ini berjubelan warga Hong Kong yang hendak berkirim doa. Nampak sekali jenis pemakamannya berbeda-beda. Ada yang melingkar besar dengan batu nisan persegi di tengah, ada yang hanya persegi memanjang.

Nyonya Chow seolah tahu rasa penasaranku, "Itu adalah makam untuk orang kaya, Ati. Mereka membayar jutaan dolar untuk bisa dikubur layak seperti ini." 
Aku melongo membayangkan angka jutaan dolar untuk sebuah makam. Sementara di negaraku, tersedia gratis. Jika ingin permanen bisa membeli itupun tidak sampai jutaan dolar.
"Harga satu makam ini seharga satu rumah." Lanjutnya, yang membuatku makin menganga.
"Tinggal di Hong Kong itu susah, semua serba mahal, rumah mahal, biaya hidup mahal, bahkan matipun selain membutuhkan biaya sangat mahal, juga untuk mendapatkan kuburan harus antri. Kami harus bekerja keras, menabung setiap hari agar nanti ketika mati bisa dikuburkan secara layak." Dia menarik nafas panjang dan melepaskannya dengan berat.

Akhirnya kami tiba di tempat makam Tuan A Man. Kupandangi makam itu, hanya seperti loker berukuran sekitar 30 centimeter menempel di dinding, bergandeng dengan ratusan deretan loker lainnya. Tepat didepan loker ada foto Tuan A Man hitam-putih, berkacamata dengan tatapannya yang tajam, dibingkai tulisan dalam huruf China yang tidak bisa kupahami. Mungkin tanggal lahir dan tanggal wafat. 

Kata Nyonya Chow, ini adalah harga makam paling murah di Hong Kong, itupun masih menelan biaya puluhan ribu dolar. Sebelum dimakamkan, jenazah harus dikremasi atau dibakar lalu disimpan abunya dalam guci dan di taruh di loker penyimpanan yang sudah diberi nomer, kemudian di depan loker diberi batu nisan.

Kubantu Nyonya Chow membersihkan, mengelap batu nisan yang nampak berdebu. Sementara Bobo, sosok yang seharusnya paling bersedih, matanya hanya sibuk menangkap lalu-lalang orang-orang yang berseliweran dan sesekali berceloteh, berkomentar. Bahkan dia telah lupa, bahwa yang berada didepannya adalah makam putra yang senantiasa disebut dan diingatnya. Setelah selesai membersihkan, kemudian kubantu menyiapkan sesajen untuk upacara.

"Maafkan kami Koko*, kita tidak bisa menguburkanmu secara layak karena keterbatasan harta, sehingga kamu harus dikremasi. Walaupun itu tidak sesuai dengan kepercayaan yang kita anut. Semoga engkau tenang dan berbahagia disana, bersama anak dan istrimu yang telah mendahuluimu." Ratap Nyonya Chow. 

"Seandainya peristiwa itu tidak terjadi. Pasti kamu tidak disini dan hidupmu bahagia bersama anak dan istrimu. Kasihan Ibumu, sangat kesepian setelah kepergianmu."
"Kamu tahu tidak Ati a, Tuan A Man ini jika putrinya masih hidup pasti seusia denganmu. Berapa usiamu?" 
"Hampir duapuluh tiga tahun, Nyonya," 
Nyonya Chow kembali mengangguk seolah merasa terkaannya benar, "Tuan A Man dan Bobo dulu pernah tinggal di Indonesia. Di kota emm.., ahh aku lupa dimana tepatnya. Tuan adalah seorang pengusaha."
Aku terperangah,"Benarkah?"
Nyonya Chow belum pernah bercerita di bagian ini.
"Peristiwa yang menyedihkan, rumahnya dibakar habis. Dia tidak bisa menolong anak dan istrinya yang ikut menjadi korban kebakaran. Tragis sekali, mereka mati terbunuh. Tahun itu yat kau kau pak*, duapuluh tahun yang lalu, pernahkah kamu mendengar sejarah itu?" Tanya Nyonya Chow.

Aku mengangguk antara syok dan kebingungan, jantungku tiba-tiba berdetak hebat, keringat dingin menyergap sekujur tubuhku, tak mampu berkata-kata, itu mirip kisah Bibi Mar. Jangan-jangan…
"Yima*, mari kita berdoa untuk Koko A Man," Kata Nyonya Chow mengalihkan percakapan sambil mengeluarkan segepok dupa dan membakarnya, lalu mengulurkan sebagian kepada Bobo. 
"Baiklah, berdoa untuk siapa?" Bobo kembali bertanya.
"Untuk A Man, putramu," 
"A Man, dimana dia sekarang? tolong telepon dia untuk segera menjemput, disini banyak orang. Aku takut." Nadanya mulai gelisah dan panik. 
"Jangan takut ada saya. Bobo berdoa dulu, ya?" Ujarku masih dengan hati tak menentu, seraya mengarahkan posisi Bobo berjajar dengan Nyonya Chow.

Sementara aku membelakangi punggung mereka berdua, hanya bisa menatap batu nisan Tuan A Man dengan perasaan campur-aduk, menatap kembali fotonya dalam-dalam. Mencoba mengeja garis wajahnya, mata oriental, hidung lancip, bibir, dan rahangnya..., namun semakin kupandang, yang kurasakan pandanganku semakin kelu, mengabur, dan airmata tak mampu kubendung, meski telah berusaha menahan diri untuk tidak menangis. Hanya menatap dalam diam, berdoa jika benar dia adalah jawaban jejak pencarianku selama ini.


****


Dengan hati-hati dan tak sabar kubuka daun pintu kamar warna putih. Kamar Tuan A Man, yang berseberangan dengan kamar Bobo sekaligus kamarku. Selama ini aku hanya masuk untuk membersihkannya, namun kali ini aku memasukinya dengan berjuta kemelut untuk membuka misteri tentangnya. 

Kubuka lemari baju miliknya, beberapa helai pakaian masih tergantung rapi didalamnya, selebihnya adalah tumpukan selimut, handuk, mungkin milik Bobo. Kemudian, kubuka satu persatu laci didalamnya, tidak kutemukan. Beberapa album foto tua tak luput dari koreksiku. Kubuka satu persatu dihalamannya. Masa muda Tuan A Man beserta Bobo suami ketika berada di Indonesia. Memang benar mereka pernah tinggal di Indonesia. 

Sebuah dompet tua kutemukam, membukanya perlahan dan membuatku nyaris menjerit. Kubungkam rapat bibirku, tangisku pecah melihat foto itu. Foto yang sama persis dengan yang tergantung di dinding ruang tamu rumah Simbah, Ibuku sedang menggendong diriku, namun di foto ini selain, aku dan Ibuku ada Tuan A Man berdiri disamping Ibuku. 
“Ayah…,” bibirku gemetar, dadakupenuh sesak, dan tangisku pecah
menyebut namanya.
Akhirnya kutemukan jejaknya meski hanya gambaran wajah terbingaki dalam foto, meski tak sempat mendengar suaranya, tak sempat berbicara dengannya, karena dia telah damai bersama Ibu dan juga Simbah di alam yang berbeda. Tapi rasa lega seperti sudah mendapatkannya kembali.

“Ati a, kamu dimana ?” 
“Saya disini, Bobo.” Jawabku, buru-buru berbenah dan mengusap air mata dan mendatangi arah suara di kamar.
“Kamu jangan pergi, aku takut sendiri.” 
“Tidak Bobo, tidak akan. Aku akan menjaga dan merawatmu selalu. Aku akan menyanyi untukmu setiap hari.” Kataku sambil memeluknya erat dan hangat. 
Dia membalasnya dengan mengusap rambutku, “Kwai la,
Kutemukan jejak kehangatan cinta dan kasih ada pada dirinya.


Ahla Jennan
Lohas Park, 30 Mei 2018

Notes :
JEJAK CINTA ASMARADANA adalah Pemenang Lomba Menulis di "Voice Of Indonesia "
Yang diselenggarakan oleh Radio Republik Indonesia
Kisah ini sudah pernah terbit di Koran REPUBLIKA

You Might Also Like

0 comments

Translate

SUBSCRIBE

Like us on Facebook