Kejujuran itu memang mahal dan terkadang menyakitkan
Namun kebohongan jauh lebih menyakitkan dan kesia-siaan pada akhirnya
(Be My Self)
By. Ahla Jennan
Kumala
tertegun di ambang pintu, tatapannya nanap pada bahu bidang yang berdiri
didepan gas stove [1],
memunggunginya, tengah asyik mengaduk-aduk sesuatu di dalam panci. Bunyi bel
pintu, hilir mudik langkah kaki, suara racau dan riuh rendah di segenap penjuru ruangan tak juga membuat
perhatiannya pecah ataupun barang sejenak menoleh. Ia begitu tenggelam dalam
dunianya. Sesuatu di dalam saku celananya tiba-tiba begitu berat membebani
langkahnya…
*****
“Kenapa tak
pakai warna merah darah ini, La?”
Kumala
berhenti memperhatikan cermin didepannya lalu menoleh dengan kesal pada sosok
yang sedari tadi asyik menontonnya, “Aku tak sedang haus darah, Mbak Ayu!”
“Tapi yang
merah ini lebih merekah.”
Dasar selera
kampungan!
“Dengar,
Mbak Ayu, ini bukan masalah seberapa tebal dan merahnya pewarna bibir untuk
menggoda pria. Tapi ini tentang seni, Mbak! Seni melukis wajah. Hanya pria-pria
tertentu saja yang bisa menilai penampilan perempuan dari riasannya. Orang
seperti sampean ini masih terlalu
lugu untuk mengetahui seni menggambar wajah.”
Kumala
melirik kembali wajah sederhana dengan
kerudung berjuntai menutup dada disampingnya itu, yang nampak tak acuh dengan
sindiran halus yang baru saja ia lontarkan. Sebenarnya dengan pakaian seperti
itu ia tetap saja terlihat cantik, tapi entah kenapa nampak rendahan sekali
seleranya. Tanpa modifikasi.
“Mendekatlah
kesini, Mbak Ayu. Biar kupoles wajahmu. Dengan sedikit sapuan kuasku ini,
jaminan mutu Kang Mariyun di kampung sana
bakal pangling, mengira sampean[2] ini
seorang Bintang Dangdut.”
“Aku hendak
kamu poles? Sudahlah, tanpa dipolespun Kang Mariyun tidak bakal pindah ke lain
hati. Cinta kami bukan dari riasan wajah, Kumala, tapi cinta kami tumbuh di
sini.” Jawab sahabatnya itu dengan tangannya mengepal ke dada.
“Oya, kamu
sedang ada janji dengan Mark, Si Tom Cruise dari Jerman itu, ya?” lanjutnya.
Kumala
mencibir, “Dia sudah tamat.” Jawabnya sambil mengumbar tawa lebarnya.
“ Lalu, Si
Shahruk Khan dari Pakistan
itu?”
“The End dari sebulan yang lalu.”
“ A Hong?”
“Kandas. Dia
terlalu egois, Mbak Ayu. Aku mana tahan…,”
“Kamu jatuh
cinta semudah orang terkena sakit flu saja.”
Kumala
kembali terkekeh, memamerkan lesung pipit di pipi kirinya yang membuat gurat
senyum di wajahnya semakin manis saja, “Tapi sekarang sudah ada yang lain
lagi.” Katanya di barengi dengan kerling nakalnya.
“Selanjutnya
siapa lagi yang mau jadi tumbalmu? Apa kamu tidak lelah mempermainkan hati
pria?”
“Tapi yang
ini lain. Orangnya so care, romantis, cool abis, tapi yang terpenting adalah masa depan. The Future[3],
Mbak Ayu…,”
“Kamu juga
selalu bilang begitu ketika jatuh cinta sama Si Mark dan A Hong,”
“Tapi kali
ini aku tak main-main. Orangnya benar-benar simpatik, kharismatik, dan kaya
lagi. Pokoknya Si Mark, A hong, Shahruk Khan, Kumar Sanu, pasti kalah telak.”
“Kamu juga
berkata seperti itu ketika jatuh cinta sama Si A Hong maupun Si Kumar Sanu,”
“Tapi yang
ini memang lain. Baru kali pertama ini Kumala benar-benar jatuh hati tak biasa
seperti ini. Baru sekali ini.”
“Kamu tahu
darimana ia baik dan kaya, jangan-jangan kamu kena tipu, La. Hati-hati,”
“Don’t worry,[4]
Mbak Ayu. Dari jaringan Facebook,
Friendster miliknya kuketahui ia seorang warga negara Indonesia yang baik,
bekerja di sebuah perusahaan perbankan Hongkong sini, seorang Sarjana Ekonomi,
ayahnya pengusaha di era sembilanpuluhan, tapi usahanya bangkrut di gulung
krisis moneter.”
“Apa kamu
pantas berpasangan dengannya? Apakah dia menaruh hati padamu?”
Kumala di
landa resah, kembali mencermati wajah kawan sepenanggungannya semenjak empat
tahun silam. Kawan semenjak kali pertama ia mendaratkan diri di negeri Hongkong
ini. Walaupun ditengah jalan akhirnya jalan yang ditempuh saling berseberangan.
Kumala yang selalu berusaha tampil mempesona dan berharap selalu di urutan
pertama dalam persoalan mode dan tata busana, sementara Mbak Ayu yang
senantiasa sederhana, selalu tak acuh dengan tampilannya. Empat tahun bekerja
di Hongkong dengan segala kebebasannya ternyata tak mampu mengerosi otaknya
untuk merubah diri.
“Gampang
saja, cukup mengaku lagi kerja di sebuah kantor perusahaan milik sahabat
Pamanku.”
“Kamu sudah
gila, Kumala! Tak baik memulai hubungan dengan kebohongan.”
Namun Kumala
buru-buru berlari ke ambang pintu WC yang lumayan sepi di hari minggu ini,
sesaat kemudian ia telah menjelma menjadi sosok baru dengan tampilan modis
sedikit menjiplak ala pegawai kantoran. Kacamata berbingkai persegi sengaja
disematkan untuk menambah keyakinan intelektualnya.
“Nyebut, La. Nanti kamu kena batunya,”
Kumala
kembali tergelak menatap gurat kekhawatiran pada raut sahabat lugunya itu.
“Dengar,
Mbak. Tanyakan pada mereka yang telah sukses di dunia bisnis, berapa kali
mereka telah jatuh bangun, ketipu, lalu bangun lagi sebelum akhirnya berhasil?”
“Tapi ini
bukan dalam bidang usaha, tapi ini masalah hati, La. Perasaan! Bukan
hal yang aneh untuk lelaki mau mempermainkan seribu wanita, ia tak akan terluka
ataupun ternoda. Tapi kau perempuan, La. Sekali saja ternoda, duniamu merana
selamanya___selamanya, La. ”
“Nah, Mbak
Ayu malah berputar haluan ke arah berlawanan. Rasaku pada yang seorang ini
lain, Mbak. Ada
cinta berselimut bisnis. Menarik, kan ?
Rencananya, kami akan patungan membuka usaha, Ayahnya seorang berjiwa bisnis,
apa salahnya aku berinvestasi kecil-kecilan untuk tabungan masa depan.”
“Tapi, kalau___,”
“Ah,
sudahlah. Aku ada janji hari ini dengannya. Ia tidak setiap minggu bisa di
jumpai. Terlalu sibuk, maklum anak kantoran,” potong Kumala sembari melirik
waktu di pergelangan tangannya, “Dah dulu,
Mbak Ayu. Nitip dulu barang-barangnya, ya…,”
“Kumala!”
Tapi yang di
panggil telah melesat seperti di kejar hantu.
****
Dengan
bantuan pencahayaan lampu halogen, atap plafon yang dekorasinya bernuansa
akustik, ditambah gradasi warna hitam yang mengepung ruangan, membuat suasana
dalam café terlihat tenang dan romantis. Kumala berdecak-decak kagum ketika
kali pertama menjejakkan kaki di ambang pintunya, menatap interior di segala
penjuru ruangan yang terkesan bukan murahan itu.
“Seleranya
lumayan tinggi juga dalam memilih tempat kencan,” gumam Kumala dalam hati
sembari ekor matanya berkeliaran.
Sosok itu
berada di meja yang terletak di sudut ruangan, tatapannya tengah terpaku pada
catalog menu yang tengah dibolak-baliknya. Mungkin bosan menunggu.
“Hai Mas
Ferry, sorry banget bikin nunggu.”
Yang disapa
langsung mendongak dan menebarkan senyum kalemnya, membuat Kumala langsung
terkesima, dalam hatinya ia menyumpahi betapa tampan cowok yang baru dikenalnya tiga minggu lalu ini.
“Hanya
limabelas menit.”
“Iam so sorry, biasalah kalau akhir bulan
pasti banyak pekerjaan, so semalaman
harus begadang di depan komputer.”
“Aku
mengerti, kok.”
Senyum kalem
itu kembali terukir disudut bibir. Membuat hati Kumala serasa melambung berjuta
rasa.
“Bagaimana
dengan rencana kita tempo hari? Kapan bisa di mulai?” Lanjut Kumala sembari
menggeser kursi dan duduk di hadapan lelaki itu.
“Lebih cepat
lebih baik. Percayalah, bisnis kita ini pasti akan mendapat respon dari
masyarakat luas. Apalagi basic kita adalah perbankan yang pastinya tak akan
banyak kesulitan dalam memanajemen keuangan dan pemasarannya. Aku juga telah
banyak menimba ilmu dari negeri Komunis Cina yang saat ini menjadi kiblat dunia
usaha internasional. Untuk mengawali usaha ini, modal sebesar limapuluh ribu
dollar Hongkong telah aku kirim pada ayah sebagai pengendali bisnis.”
Kumala
terbelalak.
Limapuluh
ribu? Uang sebanyak itu, ia tak mengira modalnya akan sebesar itu.
“Limapuluhribu
itu hanya modal awal saja, limabulan kedepan aku akan mengirim lagi untuk
melebarkan sayap usaha ini. Bagaiamana pendapatmu?”
Kumala
menelan ludah. Ingatannya mulai mengorek-korek buku tabungan yang di milikinya.
“Berapa yang
harus aku bayar sebagai modal awal? Dan, berapa persen keuntunganku?” Tanya
Kumala sedikit bimbang.
Pria di
hadapannya itu sejenak mengelus-elus dagu, “Seperti yang telah saya bicarakan
dengan Ayah, untuk usaha ini kita perlu minimal
duaratus juta rupiah. Ayah telah menginvestasikan sisa kekayaannya
sebesar tujuhpuluh lima
juta rupiah untuk mewujudkan usaha ini. Dan, jika kamu berinvestasi sebesar
tujuhpuluh lima
ribu dollar Hongkong, kamu akan mendapatkan 20 % saham dari usaha ini.”
“Tujuhpuluhlima ribu?” Suaranya nyaris tercekat di
tenggorokan ketika mengucapkannya.
“Tujuhpuluh
“Yah,
begitulah. Modal adalah salah satu faktor utama dalam memulai sebuah usaha,
selain ketrampilan dan kenekatan tentu saja. Tapi, percayalah, ayah saya telah malang melintang di dunia
usaha puluhan tahun. Mungkin krisis sempat memporak-porandakan usaha bisnisnya.
Tapi ia sanggup berdiri lagi, walaupun tak sampai semegah dahulu,”
Kumala
mengamati wajah dihadapannya yang penuh semangat dan keyakinan itu. Hatinya
ikut hanyut terbawa arus namun juga bimbang pada kondisinya. Bagaimana cara
mendapatkan uang sebesar itu? Bahkan dalam tabungannya yang setengah mati ia
kumpulkan selama tiga tahun terakhir ini tak juga mencukupi. Tapi ia juga
merasa gengsi untuk menolaknya. Apa kata dia nanti?
“Akan saya
pikirkan dahulu.” jawab Kumala lirih sambil menelan ludah.
“Tentu. Saya
tak ingin memberatimu, juga tak ingin memaksa. Tapi ini merupakan peluang yang
besar untuk masadepan. Masa depan kita tentunya.” Ujarnya sembari mengenggam
telapak tangan Kumala. Yang membuat hatinya langsung luluh dan tak berdaya,
sementara otaknya mencari seribu cara untuk mendapatkan pinjaman dana.
****
Kumala
tengah menghitung keseluruhan tabungan sekaligus uang pinjaman yang baru ia
dapatkan dari sebuah bank, dan juga beberapa temannya, termasuk Mbak Ayu,
sahabat kentalnya walaupun untuk itu ia harus menerima seribu rentetan
kebawelannya yang kerap tak mendukung
tiap kali ia punya rencana. Tapi rencana bulat dan masa depan telah
bertengger di kepala Kumala, tak satupun yang sanggup meruntuhkan atau sengaja
menggagalkan. Titik.
Dia telah
mantap berencana hari ini akan mentransfer sejumlah uang ke rekening Ferry,
kekasihnya itu sebagai invest untuk usaha yang didirikan Ayahnya. Dering
pesawat telepon dari ruang tamu sejenak memaksanya berdiri dan melangkah dengan
malas. Dan, lebih malas lagi ketika mengetahui siapa yang menelepon.
“Sial!”
Gerutu Kumal sembari meletakkan gagang telepon, ketika yang menyapa adalah
majikan perempuannya. Yang mengatakan agar dirinya segera bersiap karena akan
dijemput untuk acara makan malam dirumah saudara sepupunya, di lain kota .
“Disana
nanti ada Aman, perawat Kakek yang pandai memasak kare, cap cay. pork chop, dan
banyak lagi lainnya. Kamu harus banyak belajar dan bertanya dari dia.”
Kumala
mencibir demi mendengarnya. Sudah bukan hal yang aneh bila majikannya tak
pernah puas dengan hasil karya masakannya. Namun, yang kerap membuatnya jengah
adalah selalu menyebut nama Aman ketika ada masakan yang dibuatnya tak beres di
lidah. Aman, perawat kakek yang pandai memasak dan sering menjadi bahan
perbandingan majikan perempuannya antara kualitas Kumala sebagai pembantu
wanita dan sosok Aman sebagai perawat orang jompo. Dan, Kumala sungguh tak
rela.
Buru-buru ia
meletakan gagang telepon, memasukkan buku tabungannya ke dalam saku, dan ganti
meraih handphone untuk mengetik
sebuah SMS, permohonan maaf pada kekasihnya karena tak bisa mentransfer uang
hari ini. Ada rapat mendadak dengan atasan, begitulah alasan jitunya.
Rona
wajahnya masih sedikit manyun ketika tiba dirumah saudara majikan perempuannya.
Walaupun sudah hampir empat tahun bekerja di rumah majikannya, namun baru hari
ini ia di ajak bertandang. Bukan hal yang mengherankan bila sepanjang jalan,
majikannya sibuk mengarahkan apa saja yang harus dikerjakannya selama bertamu
nanti. Dan, Aman tak lupa disebutkannya dalam daftar menu utama, yang membuat
Kumala semakin gusar dan penasaran pada sosoknya.
Kumala hanya
sanggup melongo dengan nafas tercekat, ketika sejenak ujung penglihatannya
mengoreksi sosok itu. Perawat itu masih muda, dengan bahu bidangnya yang khas dan amat ia kenali, dan pernah ia
kagumi. Tiba-tiba saja seluruh engsel persendiannya serasa melemas, sekuat
tenaga ia memutar haluan, tak siap menghadapi sosok itu. Dengan langkah berat
oleh beban amplop disaku celananya, kakinya berayun untuk menjauh dari kotak
dapur. Mencoba meredam rasa yang tiba-tiba bergejolak dalam benaknya tanpa tahu
apa yang harus ia lakukan. Semuanya terlihat gamblang, telah ada di ujung mata,
namun tetap saja Kumala tak percaya.
“Kumala,
tolong panggilkan Aman, kakek yang menginginkannya.” Sebuah teriakan menguik di
antara keributan di kamar yang mana
anak-anak gadis berada didalamnya.
Tak ada
pilihan. Dengan langkah berat, Kumala menuju ambang pintu dapur. Tempat asa dan
harapannya telah menguap seketika.
Dengan nafas
tersendat dan bibirnya yang bergetar menahan tangis, Kumala berkata untuk kali
pertama dan sekaligus akan mengakhirinya.
“Mas Ferry, pispot Kakek sudah penuh, tuh.”
Yang Kumala
ingat sosok itu segera menoleh dan terkejut menatap dirinya. Tapi, Kumala tak
sempat membalas atau sekedar memandang, karena tatapannya mulai mengabur dan
airmata terlanjur tumpah membanjiri pipinya.
****
“Kusut
sekali kau pagi ini, tanpa tenaga seperti bayi kurang asupan gizi. Kemana wajah
bergambar dan gaya
trendy-mu itu?” Tanya Mbak Ayu, raut
wajahnya penuh tanda tanya, karena Kumala bertingkah amat tak biasa.
“ Kau benar,
Mbak Ayu. Wajah bergambarku ternyata hanya menjadi tambahan catatan dosa saja,
semuanya hampir saja tak tersisa, tapi ternyata Allah masih mengingatkan,
sebelum aku benar-benar jatuh tersungkur didalamnya.”
“Kenapa,
Kumala. Adakah yang membuatmu terluka?”
Kumala mulai
mewek, seraya bertanya, “Apakah, Mbak Ayu pernah di bohongi oleh laki-laki?”
Mbak Ayu
nampak berpikir sejenak, “Ada
apa sebenarnya, ceritakanlah?”
Ganti Kumala
yang menggeleng lemah, “Mas Ferry, Mbak. Ternyata…,”
“Kenapa
dengan Ferry?”
Ia kembali
menggeleng, enggan membuka mulut pada sahabatnya. Tapi, tiba-tiba pipinya
kembali bersemburat rona bahagia. Senyum merekah di sudut bibirnya, seraya
berkata, “Aku akan mengikuti jalanmu saja, Mbak Ayu!”
“Maksudmu?”
“Aku akan
mencoba hidup seperti, Mbak Ayu saja. Walau terlihat norak dan kampungan tapi
bahagia.” Cetusnya seraya menyambar tas di pergelangan tangan sahabatnya.
“Ehh, Kumala mau kau bawa kemana mukena
baruku itu??”
Yang ditanya
telah kembali melesat seperti dikejar hantu.
**End**
ilustrasi : Net
Pernah diterbitkan di majalah Normuslima
Pernah diterbitkan di majalah Normuslima
Hongkong,
01/06/2010